JAKARTA, KOMPAS.com - Anak-anak dari bantaran Sungai
Ciliwung, Selasa (25/11), berkumpul di kawasan elite Menteng, Jakarta
Pusat. Mereka berlatih musik bersama awak Jakarta Philharmonic
Orchestra. Mereka akan tampil Kamis malam ini di Bentara Budaya Jakarta
dalam konser ”Musik yang Membebaskan”.
Tangan Irfan yang berlumur tato itu asyik menggesek biola. Baru sekitar dua minggu ini pekerja di bengkel Vespa di Jatinegara, Jakarta Timur, tersebut berlatih biola. Seumur-umur, baru kali ini Irfan memegang biola. ”Rasanya tangan pegel-pegel...,” kata Irfan.
Kegirangan serupa dirasakan Ucok, Deni, Rafli, Ayuni, dan sekitar 40 anak-anak yang tinggal di sekitar bantaran Ciliwung. Mereka berasal dari sejumlah wilayah langganan banjir, seperti Bukit Duri, Kampung Pulo, Kebon Pala, dan sekitarnya. Sandyawan Sumardi, pendamping anak-anak Ciliwung itu, mencatat setidaknya ada 32 sektor informal yang menjadi penghidupan orangtua mereka, termasuk tukang cuci pakaian, tukang potong ayam, penjual sapu lidi, pedagang sayur, dan tukang mebel pinggiran jalan.
Usia mereka terentang mulai 7 sampai 20 tahun. Ada yang masih sekolah, tetapi banyak pula yang sudah bekerja.
Dani (20), misalnya, bekerja sebagai tukang sablon. Adapun Ayuni (15), anak penjual nasi goreng, bersekolah di sekolah menengah kejuruan. ”Saya ingin sekali ngembangin bakat. Saya ingin nanti jadi pengusaha kecil-kecilan,” kata Ayuni yang menjadi anggota koor.
Mereka mendapat pengalaman baru, yaitu bermain orkestra yang dibina Yayasan Philharmonic Society (YPS) dengan Jakarta Philharmonic Orchestra-nya. Mereka mendapat kawan baru pula, yaitu dua siswa North Jakarta International School.
Selain dilatih bermain biola, pianika, recorder, perkusi, dan vokal paduan suara, mereka juga dilatih memainkan komposisi dengan aransemen layaknya sebuah orkestra. Tak tanggung- tanggung, anak-anak itu dilatih dan dikonduktori Yudianto Hinupurwadi, salah seorang konduktor orkestra terbaik negeri ini.
Mereka juga akan tampil bersama solois biola Iskandar Widjaja-Hadar yang pernah bermain untuk orkestra terkenal di Eropa di bawah konduktor kelas dunia, seperti Zubin Mehta dan Christoph Eschenbach. Kamis (27/11) malam ini pukul 19.00, untuk pertama kali setelah berlatih sekitar 15 hari, anak-anak itu akan unjuk kemampuan di Bentara Budaya Jakarta.
”Passion first”
Memang bukan hal mudah untuk mengenalkan orkestra kepada anak-anak yang sama sekali belum pernah memegang biola, pianika, dan recorder. Tak kalah susah pula mengajari mereka membidik nada secara tepat. ”Awalnya, mereka bukan saja fals, tetapi ganti tangga nada,” kata Neneng Rahardja dari YPS.
Mereka menggunakan metode passion first, yaitu mengutamakan rasa suka dan gairah pada musik terlebih dahulu. Anak-anak itu tidak dibebani hal teknis, seperti notasi dan lainnya. Rupanya cara itu berhasil. Mereka semangat berlatih. Ketika mereka memainkan lagu ”Yamko Rambe Yamko” malam itu, para penggesek biola spontan menari tanpa komando.
Mereka juga menggunakan metode potong kompas. Maksudnya, anak-anak tidak diberi teori, tetapi langsung praktik bermain. ”Lama-lama mereka hafal juga. Jadi, ini lebih singkat dari metode Suzuki,” kata Yudianto.
Ia menggunakan bahasa sederhana untuk menjelaskan tanda dinamik, seperti crescendo atau decrescendo. ”Yang ini dari pelan, mengeras. Jadi, tidak dari lembut, terus mendadak keras...,” kata Yudianto menjelaskan kepada mereka.
Setelah latihan berjalan, Yudianto dan para pembimbing sempat sangsi apakah akan melanjutkan program latihan atau tidak. Ia bahkan menyatakan sempat stres dan tidak bisa tidur berhari-hari. ”Ini kayak mission impossible, ha-ha-ha,” kata Yudianto.
Namun, dalam latihan malam itu, lagu seperti ”Ibu Pertiwi”, ”Yamko Rambe Yamko”, dan ”Tanah Air” karya Ibu Soed yang digarap sebagai Tema dan Variasi sudah terdengar sosok musikalnya. Memang, masih ada kekurangtepatan bidik nada, tetapi sudah terbetik pula keindahan komposisi. Vokal paduan suara yang semula fals sudah terdengar lurus dan bening. ”Ada kepuasan tersendiri. Kalau di orkes besar, pemainnya sarjana musik semua. Kalau mereka salah, saya jengkelnya bisa sepuluh kali lipat ini. Tetapi, kali ini saya bisa lebih maklum,” kata Yudianto.
Membebaskan
Program ”Musik yang Membebaskan” digagas Yayasan Philharmonic Society yang mengelola Jakarta Philharmonic Orchestra. Di belakang mereka ada nama Neneng Rahardja dan konduktor Jakarta Philharmonic Orchestra, Yudianto Hinupurwadi, serta Ivan Hadar, yang menjadi Ketua Dewan Pengurus Yayasan Philharmonic Society.
Mereka melakukan pendidikan musik yang membebaskan, khususnya bagi kelompok usia anak-anak dan remaja dari masyarakat yang termarjinalkan. Pendidikan tersebut dimaksudkan untuk memberikan bekal kepada anak-anak agar mereka dapat keluar dari kungkungan kemiskinan dan keterpinggiran. Menanamkan rasa percaya diri untuk keluar dari stigma sebagai ”orang pinggiran”. Bahwa mereka bisa, mampu, dan setara dengan anak-anak lain.
”Musik yang membebaskan ini sudah ada contoh di Venezuela sejak 40 tahun lalu. Di sana sudah menjadi gerakan,” kata Ivan Hadar, yang mengharapkan program ”Musik yang Membebaskan” bisa menjadi gerakan di Indonesia.
Dalam pandangan Sandyawan Sumardi, bagi anak-anak Ciliwung itu, musik bukan hanya katarsis dari frustrasi masyarakat. Musik bukan hanya mengungkapkan, melainkan juga mendengarkan. Diharapkan anak-anak itu juga akan dididik oleh musik. Musik akan membuat imajinasi mereka hidup, kreatif, dan inovatif di tengah keterbatasan anak-anak tersebut.
”Mereka tidak mendapatkan akses sosial, ekonomi, politik, semuanya serba kurang. Namun, keterbatasan itu justru membuka peluang mereka untuk berbenah. Dengan jiwa, semangat, mereka menjebol segala keterbatasan ruang, fasilitas, dengan musik,” kata Sandyawan Sumardi. (XAR)http://megapolitan.kompas.com/read/2014/11/27/16000861/Menjebol.Keterbatasan.dengan.Musik
Tangan Irfan yang berlumur tato itu asyik menggesek biola. Baru sekitar dua minggu ini pekerja di bengkel Vespa di Jatinegara, Jakarta Timur, tersebut berlatih biola. Seumur-umur, baru kali ini Irfan memegang biola. ”Rasanya tangan pegel-pegel...,” kata Irfan.
Kegirangan serupa dirasakan Ucok, Deni, Rafli, Ayuni, dan sekitar 40 anak-anak yang tinggal di sekitar bantaran Ciliwung. Mereka berasal dari sejumlah wilayah langganan banjir, seperti Bukit Duri, Kampung Pulo, Kebon Pala, dan sekitarnya. Sandyawan Sumardi, pendamping anak-anak Ciliwung itu, mencatat setidaknya ada 32 sektor informal yang menjadi penghidupan orangtua mereka, termasuk tukang cuci pakaian, tukang potong ayam, penjual sapu lidi, pedagang sayur, dan tukang mebel pinggiran jalan.
Usia mereka terentang mulai 7 sampai 20 tahun. Ada yang masih sekolah, tetapi banyak pula yang sudah bekerja.
Dani (20), misalnya, bekerja sebagai tukang sablon. Adapun Ayuni (15), anak penjual nasi goreng, bersekolah di sekolah menengah kejuruan. ”Saya ingin sekali ngembangin bakat. Saya ingin nanti jadi pengusaha kecil-kecilan,” kata Ayuni yang menjadi anggota koor.
Mereka mendapat pengalaman baru, yaitu bermain orkestra yang dibina Yayasan Philharmonic Society (YPS) dengan Jakarta Philharmonic Orchestra-nya. Mereka mendapat kawan baru pula, yaitu dua siswa North Jakarta International School.
Selain dilatih bermain biola, pianika, recorder, perkusi, dan vokal paduan suara, mereka juga dilatih memainkan komposisi dengan aransemen layaknya sebuah orkestra. Tak tanggung- tanggung, anak-anak itu dilatih dan dikonduktori Yudianto Hinupurwadi, salah seorang konduktor orkestra terbaik negeri ini.
Mereka juga akan tampil bersama solois biola Iskandar Widjaja-Hadar yang pernah bermain untuk orkestra terkenal di Eropa di bawah konduktor kelas dunia, seperti Zubin Mehta dan Christoph Eschenbach. Kamis (27/11) malam ini pukul 19.00, untuk pertama kali setelah berlatih sekitar 15 hari, anak-anak itu akan unjuk kemampuan di Bentara Budaya Jakarta.
”Passion first”
Memang bukan hal mudah untuk mengenalkan orkestra kepada anak-anak yang sama sekali belum pernah memegang biola, pianika, dan recorder. Tak kalah susah pula mengajari mereka membidik nada secara tepat. ”Awalnya, mereka bukan saja fals, tetapi ganti tangga nada,” kata Neneng Rahardja dari YPS.
Mereka menggunakan metode passion first, yaitu mengutamakan rasa suka dan gairah pada musik terlebih dahulu. Anak-anak itu tidak dibebani hal teknis, seperti notasi dan lainnya. Rupanya cara itu berhasil. Mereka semangat berlatih. Ketika mereka memainkan lagu ”Yamko Rambe Yamko” malam itu, para penggesek biola spontan menari tanpa komando.
Mereka juga menggunakan metode potong kompas. Maksudnya, anak-anak tidak diberi teori, tetapi langsung praktik bermain. ”Lama-lama mereka hafal juga. Jadi, ini lebih singkat dari metode Suzuki,” kata Yudianto.
Ia menggunakan bahasa sederhana untuk menjelaskan tanda dinamik, seperti crescendo atau decrescendo. ”Yang ini dari pelan, mengeras. Jadi, tidak dari lembut, terus mendadak keras...,” kata Yudianto menjelaskan kepada mereka.
Setelah latihan berjalan, Yudianto dan para pembimbing sempat sangsi apakah akan melanjutkan program latihan atau tidak. Ia bahkan menyatakan sempat stres dan tidak bisa tidur berhari-hari. ”Ini kayak mission impossible, ha-ha-ha,” kata Yudianto.
Namun, dalam latihan malam itu, lagu seperti ”Ibu Pertiwi”, ”Yamko Rambe Yamko”, dan ”Tanah Air” karya Ibu Soed yang digarap sebagai Tema dan Variasi sudah terdengar sosok musikalnya. Memang, masih ada kekurangtepatan bidik nada, tetapi sudah terbetik pula keindahan komposisi. Vokal paduan suara yang semula fals sudah terdengar lurus dan bening. ”Ada kepuasan tersendiri. Kalau di orkes besar, pemainnya sarjana musik semua. Kalau mereka salah, saya jengkelnya bisa sepuluh kali lipat ini. Tetapi, kali ini saya bisa lebih maklum,” kata Yudianto.
Membebaskan
Program ”Musik yang Membebaskan” digagas Yayasan Philharmonic Society yang mengelola Jakarta Philharmonic Orchestra. Di belakang mereka ada nama Neneng Rahardja dan konduktor Jakarta Philharmonic Orchestra, Yudianto Hinupurwadi, serta Ivan Hadar, yang menjadi Ketua Dewan Pengurus Yayasan Philharmonic Society.
Mereka melakukan pendidikan musik yang membebaskan, khususnya bagi kelompok usia anak-anak dan remaja dari masyarakat yang termarjinalkan. Pendidikan tersebut dimaksudkan untuk memberikan bekal kepada anak-anak agar mereka dapat keluar dari kungkungan kemiskinan dan keterpinggiran. Menanamkan rasa percaya diri untuk keluar dari stigma sebagai ”orang pinggiran”. Bahwa mereka bisa, mampu, dan setara dengan anak-anak lain.
”Musik yang membebaskan ini sudah ada contoh di Venezuela sejak 40 tahun lalu. Di sana sudah menjadi gerakan,” kata Ivan Hadar, yang mengharapkan program ”Musik yang Membebaskan” bisa menjadi gerakan di Indonesia.
Dalam pandangan Sandyawan Sumardi, bagi anak-anak Ciliwung itu, musik bukan hanya katarsis dari frustrasi masyarakat. Musik bukan hanya mengungkapkan, melainkan juga mendengarkan. Diharapkan anak-anak itu juga akan dididik oleh musik. Musik akan membuat imajinasi mereka hidup, kreatif, dan inovatif di tengah keterbatasan anak-anak tersebut.
”Mereka tidak mendapatkan akses sosial, ekonomi, politik, semuanya serba kurang. Namun, keterbatasan itu justru membuka peluang mereka untuk berbenah. Dengan jiwa, semangat, mereka menjebol segala keterbatasan ruang, fasilitas, dengan musik,” kata Sandyawan Sumardi. (XAR)http://megapolitan.kompas.com/read/2014/11/27/16000861/Menjebol.Keterbatasan.dengan.Musik
Komentar
Posting Komentar