JAKARTA, KOMPAS.com — Beberapa tokoh agama menyatakan, batas usia nikah 16 tahun yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perlu ditinjau ulang sesuai dengan perkembangan zaman.
"Untuk perkawinan 16 tahun, saya kira belum cukup. Jadi, Pasal 7 UU Perkawinan yang dimohonkan pemohon harus ditinjau kembali," kata Quraish Shihab saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Selasa (18/11/2014).
Quraish Shihab mengakui bahwa di dalam kitab suci Al Quran memang tidak terdapat penetapan mengenai usia tertentu untuk melakukan pernikahan.
"Ini sejalan dengan hikmah Illahi yang tidak mencantumkan perincian sesuatu yang mengalami perubahan," katanya.
Yang diperinci (dalam kitab suci), kata dia, adalah hal-hal yang tidak terjangkau oleh nalar, seperti persoalan metafisika atau hal-hal yang tidak mengalami perubahan dari sisi kemanusian.
"(Yang tidak mengalami perubahan dari sisi kemanusiaan) misalnya mengharamkan perkawinan ibu dan anak atau ayah dengan anak karena, selama manusia normal, tidak mungkin ada birahi terhadap mereka," kata dia di depan majelis hakim yang diketuai Arief Hidayat.
Dengan tidak adanya batasan ini, muncul berbagai perbedaan pendapat dari para ulama Islam. Namun, dia melanjutkan, menurut Al Quran, pernikahan dianjurkan untuk dilakukan jika seseorang sudah memiliki kemampuan secara fisik dan ekonomi.
"Tujuan perkawinan dalam kitab suci dan sunah nabi adalah lahirnya keluarga yang sakinah, yaitu wujud kerja sama suami-istri, saling mendukung," katanya.
Dengan demikian, Qurish Shihab menekankan, anak berusia 16 tahun belum bisa bermusyawarah dengan suaminya. Selain itu, tidak bisa tergambarkan pula bahwa seorang anak berusia 16 tahun bisa menjalankan apa yang diharapkan oleh nabi untuk bertanggung jawab terhadap rumah tangga.
"Jadi, ini (batas usia nikah 16 tahun) harus ditinjau ulang," katanya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh perwakilan Pengurus Pusat Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Purbo Tantomo. Dia mengatakan bahwa batasan usia dalam UU Perkawinan hanya mempertimbangkan soal kematangan biologis, tetapi kurang mempertimbangkan unsur-unsur lain yang begitu penting untuk membangun cita-cita keluarga.
Menurut Purbo, unsur-unsur lain yang begitu penting untuk membangun cita-cita keluarga salah satunya adalah kematangan pribadi dalam hal psikologis untuk mengemban tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga dan tanggung jawab terhadap kesejahteraan dalam keluarga tersebut.
"Dari pengalaman, kami menjumpai bahwa usia 16 tahun untuk perempuan masih belum cukup untuk kesiapan tanggung jawab mengemban cita-cita hidup perkawinan," ujar dia saat memberikan keterangan sebagai pihak terkait.
Untuk itu, kata Purbo, KWI mendukung agar Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Perkawinan mengarah pada batasan usia yang lebih menunjukkan bahwa calon mempelai mampu mengemban tanggung jawab dalam membangun rumah tangga.
Sementara itu, perwakilan dari Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi), Suhadi Sendjaja, mengatakan bahwa hukum Buddha selaras dan tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan (sains).
"Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang menyatakan, usia 18 tahun, seorang wanita dianggap sudah siap secara fisik, psikologis, serta secara pengetahuan untuk berkeluarga dan menghasilkan keturunan," kata Suhadi saat memberikan keterangan sebagai pihak terkait.
Suhadi mengatakan bahwa hukum Buddha mendukung adanya UU yang mengatur batasan usia nikah di Indonesia yang didasarkan oleh berbagai aspek, seperti aspek psikologis, aspek kesehatan, dan aspek pendidikan.
Pengujian UU Perkawinan yang mengatur batas usia nikah bagi perempuan ini diajukan oleh Indri Oktaviani, FR Yohana Tatntiana W, Dini Anitasari, Sa'baniah, Hidayatut Thoyyibah, Ramadhaniati, dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA).
Mereka mengajukan uji materi Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2). Ayat (1) berbunyi, "Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun."
Adapun ayat (2) berbunyi, "Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita."
Pemohon berpendapat bahwa aturan tersebut telah melahirkan banyak praktik perkawinan anak, khususnya anak perempuan, mengakibatkan perampasan hak-hak anak, terutama hak untuk tumbuh dan berkembang. Mereka mengacu pada Pasal 28 B dan Pasal 28 C ayat (1) UUD 1945.
Pemohon meminta MK menyatakan bahwa batas usia menikah untuk perempuan minimal 18 tahun.http://nasional.kompas.com/read/2014/11/18/1522225/Para.Tokoh.Agama.Usulkan.agar.Batasan.Usia.Nikah.Ditambah

Komentar

Postingan Populer